Tuesday, March 24, 2009

Hindari Malapraktik, DPR Genjot Revisi UU Kesehatan

JAKARTA - Maraknya kasus dugaan malapraktik belakangan ini cukup memprihatinkan bagi anggota dewan. Ketua Komisi IX DPR Ribka Tjiptaning mengaku DPR akan terus menggenjot revisi Undang-undang Kesehatan No. 39 tahun 1992 agar hak pasien juga dilindungi oleh Undang-undang.

"Itu tugas DPR untuk perlindungan pasien, sekarang belum ada. Yang ada Undang-undang praktik kedokteran," ujarnya saat dikonfirmasi okezone, Senin (2/3/2009).

Namun menurut dia, tidak semua kasus bisa divonis sebagai malapraktik. Bisa saja hal tak terduga muncul saat dokter melakukan pengobatan. Padahal seluruh pemeriksaan di awal tindakan sudah dilakukan sesuai prosedur yang ditentukan.

"Mudah-mudahan periode ini selesai. Di dalamnya sudah dimasukkan bahwa pasien berhak atas pemberitahuan tindakan medis. Selama ini kan dokter sering berlindung di balik kode etiknya," imbuhnya.(lam)

Tuesday, March 17, 2009

Adakah yang Tidak Berkehendak Dengan PP Pekerjaan Kefarmasian?

Apoteker sebagai salah satu tenaga kesehatan mempunyai peranan penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan, khususnya pelayanan kefarmasian. Karena itu kontribusi apoteker dalam proses pengobatan tidak bisa dipandang sebelah mata. Bahkan akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kefarmasian yang sangat pesat, dewasa ini pelayanan kefarmasian tidak lagi terpaku pada pengelolaan obat sebagai komoditi saja.

Apoteker dituntut untuk memperluas cakupan pelayanan kefarmasian agar lebih komprehensif lagi. Apoteker berkewajiban memberikan asuhan kefarmasian (pharmaceutical care) guna mendukung penggunaan obat yang benar dan rasional serta memonitor penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhir serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error).

Peraturan Pemerintah tentang Pekerjaan Kefarmasian (selanjutnya disingkat PP-PK) merupakan perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kefarmasian. Kelahirannya sangat ditunggu-gunggu baik oleh para apoteker maupun stakeholder nya karena perangkat hukum yang ada sekarang ini dirasakan belum memadai.

Sebagaimana diketahui, perangkat hukum yang ada sekarang ini masih didominasi oleh kebutuhan formal dan kepentingan pemerintah, dan belum memberdayakan organisasi profesi dan pemerintah daerah sejalan dengan era otonomi.

Sementara itu meski berbagai upaya hukum yang dilakukan dalam memberikan perlindungan menyeluruh kepada masyarakat sebagai penerima, dan tenaga kefarmasian sebagai pemberi pelayanan telah banyak dilakukan, tetapi masih belum memadai karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat cepat dan tidak seimbang dengan perkembangan hukum.

PP-PK merupakan acuan yang dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum, untuk meningkatkan, mengarahkan dan memberi landasan hukum serta menata kembali berbagai perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktek kefarmasian agar dapat berjalan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Tapi mengapa sampai sekarang PP-PK belum keluar juga? Padahal proses penggodokannya sudah memakan waktu lebih dari 3 tahun.

Apakah ada yang keberatan dengan PP-PK tersebut ?

Sejatinya PP-PK bisa juga dipandang sebagai penjabaran dari pasal 63 UU no 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan yang berbunyi :

  1. Pekerjaan kefarmasiaan dalam pengadaan, produksi, distribusi, dan pelayanan sediaan farmasi harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu
  2. Ketentuan mengenai pelaksanaan pekerjaan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Di dalam rancangannya, PP-PK diantaranya mengatur jenis, kualifikasi, standar pendidikan dan registrasi tenaga kefarmasian, serta penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian. Melalui PP-PK akan terlihat dengan jelas siapa yang tergolong tenaga kefarmasian dan oleh karenanya berhak untuk menyelenggarakan pekerjaan kefarmasian berikut tugas dan tanggung jawabnya serta sangsi yang diberikan apabila melanggar.

Secara objektif PP-PK memang merupakan payung hukum yang bisa menjadi landasan bagi para tenaga kefarmasian dalam melakukan pekerjaannya. Disamping itu, dengan sendirinya melalui PP-PK kesemrawutan penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian yang terjadi selama ini diharapkan bisa teratasi.

Jadi semestinya tidak ada hal-hal perlu dipermasalahkan, misalnya karena menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Atau, barangkali pihak yang selama ini terbiasa menyelenggarakan pekerjaan kefarmasian keberatan karena yang bersangkutan terkecualikan sebagai tenaga kefarmasian?

Monday, March 16, 2009

SOSIALISASI REVISI JABATAN FUNGSIONAL APOTEKER DAN ASISTEN APOTEKER

Ada beberapa item pada KEP. MENPAN NO: 140/KEP/M.PAN/11/2003 dan KEP. MENPAN NO: 140/KEP/M.PAN/11/2003 yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan Jabatan Fungsional Apoteker dan Asisten Apoteker saat ini, karena itu sudah direvisi dengan Kep.Menpan yang terbaru. Untuk mensosialisasikan perubahan ini, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Alat Kesehatan Depkes RI telah mengadakan pertemuan dengan pihak-pihak terkait pada tanggal 23-24 Juni 2008 di Surabaya.

Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi revisi ini, antara lain:

1. Perkembangan pendidikan sekolah kefarmasian

a. Munculnya berbagai konsentrasi pendidikan tk. Diploma III sebagai pendidikan lanjutan dari SAA / SMF

    • Analis Farmasi dan Makanan
    • Distribusi dan Pemasaran
    • Farmasi Rumah Sakit
  • Sejauh ini, hanya kurikulum pendidikan Farmasi dan Farmasi RS yang merupakan kurikulum lanjutan/pengembangan dari kurikulum pendidikan SAA / SMF di bidang pelayanan kefarmasian

b. Bagi Asist. Apoteker yang mendapat gelar/ijazah Apoteker maka AK sewaktu fungsional Asisten Apoteker dpt diperhitungkan

2. Diklat prajabatan calon pns

3. Perkembangan ilmu kefarmasian

. Farmasiloma III sebagai g yang dapat disisihkan karena tak perlu lagi mear tak bikin bete.

engan cara membaca buku kegem Drug Oriented berubah menjadi Patient Oriented (Pharmaceutical care)

4. Perkembangan tata kelola organisasi instansi kesehatan pemerintah

Revisi Jabatan Fungsional pada Apoteker

NO

KEP. MENPAN NO: 140/KEP/M.PAN/11/2003 (LAMA)

PER.MENPAN NO: PER/07/M.PAN/4/2008 (BARU)

1

Pekerjaan kefarmasian
a. Menyiapkan rencana kerja kefarmasian :
- Menyiapkan rencana thnan
- Menyiapkan rencana 3 blnan
- Menyusun rencana blnan
- Menyusun rencana operasional

Pekerjaan kefarmasian
Menyiapkan rencana kerja kefarmasian
· Menyiapkan rencana kegiatan

- Menyiapkan juklak/juknis
- Menyiapkan peraturan, standar dan pedoman

Pengembangan profesi
· Membuat buku pedoman dan
juklak/juknis

b. Evaluasi pengadaan sed. farmasi, alkes dan pkrt

Pekerjaan kefarmasian
· Evaluasi keg. pengelolaan
perbekalan farmasi

c. Membuat srt permintaan obat

Pekerjaan kefarmasian: Pengadaan

d. Membuat sediaan obat jadi
- Menganalisis bhn obat
- Menguji mutu bhn obat
- Membuat rekomendasi uji mutu
- Melaksanakan produksi obat jadi

Pekerjaan kefarmasian:
- Pembelian
- Non pembelian
- Produksi sed.
Farmasi (formula induk,
prod. non steril, prod. steril)

2

-

Kegiatan Baru:
Pengembangan profesi
- Pelayanan farmasi khusus
- Pengabdian masyarakat
- Memimpin instalasi farmasi dan
sterilisasi
Penunjang tugas
- Keanggotaan dlm KFT dan
kepanitiaan lain
- Memperoleh gelar kesarjanaan :
Bid. Kesehatan dan
di luar bid. Kesehatan



Revisi Jabatan Fungsional pada Asisten Apoteker

NO

KEP. MENPAN NO: 07/KEP/M.PAN/12/1999 (LAMA)

PER.MENPAN NO: PER/08/M.PAN/4/2008 (BARU)

1

Pekerjaan kefarmasian
a. Menyiapkan perangkat lunak:
- Menyiapkan rencana 3 blnan
- Menyusun rencana blnan
- Menyusun rencana operasional

Pekerjaan kefarmasian
- Menyiapkan rencana kegiatan

- Menyiapkan juklak/juknis
- Menyiapkan peraturan, standar dan pedoman

Pengembangan profesi:
- Membuat buku pedoman dan juklak/juknis

b. Menyiapkan data pengadaan sed. farmasi, alkes dan pkrt:
Evaluasi data pengadaan

Pekerjaan kefarmasian
- Pengadaan : (Pembelian, non pembelian, produksi sed. farmasi)

2

-

Kegiatan Baru:
Pengabdian masyarakat
1. KLB/Wabah/Bencana Alam
2. K -3
3. Program khusus sarana pelayanan kesehatan
Pengembangan profesi
- Keanggotaan dlm KFT atau kepanitiaan lainnya



Buprenorfin atau Nama Dagangnya Subutex

Kandungan

Buprenorfin 0,4 mg; 2 mg; 8 mg/tablet sublingual

Indikasi

Terapi subsitusi untuk pengobatan ketergantungan obat opioid dalam kerangka pengobatan medis, sosial dan psikologi

Kontra Indikasi

Hipersensitivitas, anak-anak <16>

Efek Samping

Konstipasi, sakit kepala, insomnia, asthenia, mengantuk, mual dan muntah, pusing dan pingsan, orthostatik hipertensi, berkeringat

Perhatian

Hanya direkomendasikan untuk ketergantungan obat opioid, dapat menyebabkan depresi pernafasan bila dikombinasikan dengan benzodiazepin atau tidak digunakan sesuai petunjuk

Dosis

Pengobatan awal: 0,8-4 mg sehari sebagai dosis tunggal, untuk penderita yang belum berhenti 1 dosis subutex paling tidak 4 jam setelah penggunaan terakhir atau bila gejala pertama ketagihan muncul; pasien yang mendapat methadone, dosis methadone harus dikurangi sampai minimum 30 mg/ hari sebelum pengobatan dengan subutex dimulai; subutex mungkin menyebabkan symptoms withdrawal pada pasien tergantung methadone


Apa itu subutex ?
Buprenorphine, nama dagangnya adalah Subutex, digunakan untuk perawatan ketergantungan narkotik (opiate). Biasanya dijual dalam bentuk pil dan digunakan dengan dilarutkan dibawah lidah. Tujuan utamanya adalah mencegah gejala putus zat dari seseorang, dengan menstimulasi reseptor didalam otak. Subutex mempunyai reaksi yang lebih besar terhadap reseptor otak daripada obat-obatan yang lain seperti heroin dan methadone, menggantikan dan mengalihkan keinginan untuk menggunakan lagi.
Subutex sangat mengikat kuat ke reseptor, membuat dampak methadone dan heroin akan menjadi kecil atau tidak berdampak sama sekali. Obat ini umumnya digunakan untuk program perawatan narkotik dan di resepkan dengan dosis berbeda. Dampak dari subutex tak sebanyak dari opiate yang lain, memberikan perasaan “normal” kepada seseorang.


Suboxone berlainan dengan subutex, ditambah bahan yang bernama naloxone. Umumnya sebagai pengobatan dasar. Dan effeknya sama seperti Subutex.
Sekarang, “crack” (cocaine) dijual dengan harga yang sangat murah, sehingga muda-mudi dapat membelinya. Tapi ini jadi nkesalahan, ketika seseorang kecanduan cocaine, ada pertambahan “perilaku” dan juga dengan pengeluaran biaya.
Efek samping
Subutex (buprenorphine) dapat menyebabkan ketergantungan. Jika penggunaan subutex tiba-tiba dihentikan, seseorang dapat mengalami gejala putus zat dan/atau adanya keinginan kambuh lagi dan menggunakan obat-obatan adiktif kembali. Subutex diatur dengan dosis harian 12mg sampai 16mg per hari.
Penggunaan Subutex tidak untuk sesekali. Ini digunakan untuk metode perawatan berkelanjutan dan akan berbahaya jika pemakaian diberhentikan terlalu cepat.
Jika digunakan dengan obat-obatan yang lain (anti dpresan, alcohol, obat dokter, dll), dampaknya akan menjadi tinggi dan menyebabkan resiko pada kesehatan secara serius. Subutex akan menyebabkan over dosis dan kematian, jika disuntikkan. Jangan menggunakan obat-obatan yang lain tanpa persetujuan petugas kesehatan saat menggunakan subutex.

Efek samping lain, termasuk :
- Rasa kantuk
- Pusing
- Kelelahan
- Susah buang air
- Sakit kepala
- Mual/Muntah
- Pernafasan yang tersendat
- Perubahan mental
- Perubahan Mood (depresi)
- Gangguan perut
- Gangguan hati
- Urine berwarna lebih kuning
- Mata menjadi kuning
- Masalah kulit
- Masalah penglihatan
- Kematian yang terjadi dari over dosis
Ketergantungan Subutex
Kalsifikasi subutex sangat sedikit dari jenis opiate lain. Dan juga sangat mahal, dan menjadi mudah untuk didapat di black market. Faktor ini memberikan kontribusi dan memperkuat angka kecanduan terhadap subutex.
Dunia internasional sudah mulai merasakan akibat dari subutex, yang berkaitan didalam International Herald Tribune :
“Pengkonsumsian buprenorphine meningkat tiga kali lipat dari tahun 2000 ke 2004, sesuai Badan Kontrol Narkotik Internasional-UN, peningkatan 1.7 milliar DDD (defined daily dose), penegasan dosis harian dari data statistic pengkonsumsian obat WHO.
“Di beberapa Negara seperti Finlandia, pelaporan 2005 badan Finlandia mengatakan “penggunaan gelap buprenorphine sebagai pengganti opiate menjadi hal terpenting, sebagian pasar gelap, hampir menggantikan heroin.”
Faktanya buprenorphine harganya lebih murah dari heroin dan dapat diakses mudah di pengembangan pasar illegal yang ada di beberapa Negara. Contohnya, pembuatan buprenorphine di India, diselundupkan ke Nepal dan Sri Lanka juga Bangladesh, 90 persen dari Negara itu penggunaannya disuntikkan sesuai laporan tahun lalu dari UN Drug and Crime.

Alternatif subsitusi oral bagi penasun dengan subutex dinilai lebih ampuh ketimbang metadon.

PENGGUNA narkoba suntik (penasun) memiliki tingkat penularan tertinggi virus HIV, karena itu upaya memutus mata rantai penyebarannya perlu dilakukan. Maka dalam program harm reduction atau pengurangan dampak buruk pengguna narkoba suntik, terdapat pil subutex sebagai alternatif substitusi oral. Pil ini dinilai lebih ampuh membantu detoksifikasi ketimbang metadon. Bagaimanakah sebenarnya subutex bekerja? Apa kelebihannya dibanding metadon?Pada prinsipnya, dalam program harm reduction untuk menanggulangi HIV/AIDS di kalangan penasun terdapat dua bentuk terapi subtitusi oral yaitu menggunakan metadon dan subutex. Namun, selama ini orang lebih familiar dengan terapi metadon ketimbang Subutex. Hal ini, menurut Dr Benny Ardjil, Kepala Pusat Terapi dan Rehabilitasi Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional (BNN), dikarenakan beberapa tahun belakangan subutex masuk dalam kategori obat terlarang.

“Itu terjadi di Singapura karena berbagai kompilikasi yang timbul ditambah dengan penyalahgunaan yang terjadi di masyarakat. Padahal, sebenarnya obat ini masuk dalam kategori zat psikotropika yang legal dan sering digunakan di dunia kedokteran. Karena itu, kami dari BNN sebagai lembaga yang mengawasi penanggulangan narkoba di Indonesia tidak sampai melarang penggunaan subutex. Hanya saja, distribusi dan penggunaannya diawasi secara ketat,” kata Benny pada acara yang digelar Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) DKI Jakarta, 18 Desember lalu.

Adapun cara penggunaan subutex yang benar adalah dengan ditaruh di bawah lidah sampai larut, bukan ditelan. Proses ini membutuhkan 2-10 menit dan subutex tidak akan bekerja bila dikunyah atau ditelan. Sedangkan penggunaan subutex dengan disuntik atau ditelan dapat menyebabkan kepala pusing, hepatitis, dan tersumbatnya aliran darah. Akibatnya, penasun bisa lumpuh dan terkena stroke.

Seberapa efektifkah subutex mendetoksifikasi pengaruh heroin atau putaw ? “Di setiap dua saraf pada otak terdapat reseptor, di mana putaw masuk ke dalam reseptor sehingga memerintahkan saraf-saraf lain untuk menimbulkan sensasi adiksi. Pada saat subutex masuk, akan mengisi reseptor-reseptor yang kehabisan efek putaw. Sehingga, sensasi euforia putaw pun tergantikan, bahkan tersumbat. Ini artinya, setiap kali putaw masuk kembali sensasi kenikmatannya akan dieliminisasi,” ujar Dr Al Bachri Husin, Psikiater dan Ketua Perhimpunan Dokter Seminat Kedokteran Adiksi Indonesia.

Melihat cara kerja subutex yang seperti itu, apakah tidak mungkin subutex akan menimbulkan kecanduan baru? Menurut Al Bachri, yang menjadi kelebihan subutex adalah bersifat protagonis dan antagonis. Sehingga, di samping mampu menekan agresivitas akibat sakaw, juga mampu menghilangkan efek putaw dari reseptor saraf. “Metadon itu agonis atau sama dengan putaw, sehingga apabila dikombinasikan dengan putaw akan menimbulkan overdosis. Sedangkan pada subutex tidak terjadi hal demikian. Metadon tanpa kombinasi putaw juga sering menimbulkan overdosis karena bersifat agonis,” katanya.

Menanggapi efek subutex yang mampu menekan agresivitas, Benny menyebutkan berdasarkan pilot project yang dilakukan di Rumah Sakit Ketergantungan Obat dan Rumah Sakit Sanglah, efektif menekan angka kriminalitas pecandu. Efek positif lain yang juga ditimbulkan dari terapi substitus oral pil bernama generik buprenorphine hydrochloride ini adalah meningkatkan produktivitas pelaku terapi Buprenorphine Maintenance Treatment (BMT).

“Walaupun pada awalnya masih menimbulkan pro dan kontra atas program BMT atau metadon. Satu hal yang harus diingat bahwa adiksi kronik menyebabkan perubahan di otak sehingga masuk dalam kategori brain diseases sehingga mudah sekali kambuh. Untuk itu, terapi subtitusi oral merupakan alternatif ramah untuk membuat penasun hidup normal,” tutur Benny mengingatkan.

Al Bachri menambahkan, tidak semua dokter memiliki wewenang untuk meresepkan subutex kepada setiap penasun. Karena, hanya dokter-dokter yang telah mengikuti pelatihan dan teregistrasi sajalah yang dapat menuliskan resep subutex. Sejauh ini, sudah ada 600 orang dokter terdaftar boleh memberikan subutex sebagai terapi substitusi oral di seluruh Indonesia. “Ada stadium-stadium tertentu dari pecandu yang tidak boleh mendapatkan treatment ini, karena itu dokternya harus paham betul siapa yang dihadapi,” ujarnya

Adapun varian dari dosis subutex adalah 12, 16, dan 32 mg dengan pola konsumsi 2-3 kali seminggu. Satu pil berharga Rp16-20 ribu. Selama menjalani BMT, penasun juga akan menjalani terapi dari dokter untuk perlahan-lahan mengubah sikapnya dari pecandu menjadi mantan pecandu. “Karena itu, lama terapi sangat beragam tapi umumnya setelah dua tahun dapat benar-benar mengubah tingkah laku,” kata Al Bachri menegaskan.

Subutex akan ditarik dari pasaran di Indonesia mulai akhir bulan ini. Menurut Thierry Powis, Presdir PT Schering-Plough Indonesia, obat ini, yang dipakai sebagai pengganti heroin dalam terapi substitusi untuk pecandu, akan diganti dengan Suboxone.

Suboxone, seperti Subutex, mengandung buprenorfin, tetapi juga mengandung nalokson (Narcan). Nalokson adalah obat yang dipakai untuk langsung melawan dengan opiat (antagonis) dalam kasus overdosis heroin, dan hanya efektif bila disuntik dalam darah. Oleh karena itu, bila Suboxone disuntik, efek buprenorfin dilawan oleh nalokson, sehingga efek buprenofin hilang total. Namun, karena nalokson tidak bekerja bila dipakai per oral, Suboxone tetap efektif bila dipakai sebagaimana mestinya, dengan ditahan di awah lidah.

Keputusan untuk mengganti Subutex dengan Suboxone diambil karena ada bukti bahwa semakin banyak orang memakai Subutex dengan cara suntikan. Mereka membubuk tablet Subutex, mencampur bubuk dengan air (Subutex tidak melarut dalam air), kemudian menyuntik cairan ini. Selain tetap ada risiko menular HIV dan virus hepatitis dengan cara ini, juga ada risiko masalah dalam aliran darah bila bubuknya tidak dibuat sangat halus. Karena Suboxone tidak memberi efek bila disuntik, dianggap penggantian ini akan membantu mencegah penularan HIV dan masalah kesehatan lain akibat suntikan.

Menurut Thierry, walau biasanya Suboxone lebih mahal, di Indonesia obat ini akan dijual dengan harga kurang lebih sama dengan Subutex.


Waspadai Penyalahgunaan Subutex
SETELAH marak terjadinya penyalahgunaan subutex, pemerintah Singapura akhirnya menetapkan zat tersebut sebagai Class-A Controlled Drug atau obat yang diawasi penggunaannya dalam Misuse of Drugs Act terhitung 14 Agustus 2006.

SETELAH marak terjadinya penyalahgunaan subutex, pemerintah Singapura akhirnya menetapkan zat tersebut sebagai Class-A Controlled Drug atau obat yang diawasi penggunaannya dalam Misuse of Drugs Act terhitung 14 Agustus 2006.
Dengan kebijakan baru ini, subutex dikategorikan sama dengan ekstasi, ketamine dan heroin, dan menjadi obat yang ilegal untuk diimpor, didistribusikan, dimiliki atau dikonsumsi. Para pemakai subutex diberi kesempatan hingga 27 Agustus 2006 untuk mendaftarkan diri dalam Subutex Voluntary Rehabilitation Program
Lewat dari tanggal tersebut, mereka yang tertangkap 2 kali pertama mengkonsumsi subutex secara ilegal diwajibkan menjalani rehabilitasi, dan bila tertangkap berikutnya dapat dikenakan hukuman penjara dan pukulan rotan. Bagi mereka yang terbukti menjual, mengimpor atau mengedarkan subutex diancam maksimal hukuman penjara 20 tahun dan 15 pukulan rotan.

Dua hari sejak subutex ditetapkan sebagai obat yang diawasi penggunaannya, tercatat 269 pemakai subutex telah mendaftarkan diri. Pemakai subutex yang telah mendaftarkan diri diijinkan untuk mengkonsumsi subutex sekali per hari di bawah pengawasan dokter/klinik hingga gilirannya menjalani program rehabilitasi. Program rehabilitasi mencakup pengurangan dosis subutex untuk 5-7 hari dan konseling untuk mengatasi kecanduan.
Pada 12 Agustus 2006,49 dokter yang terdaftar memberikan subutex kepada pasiennya telah mengikuti briefing Kementerian Kesehatan yang antara lain perihal himbauan kepada pasiennya untuk mendaftarkan diri dan kesediaan para dokter membantu program rehabilitasi. Dokter yang menolak bergabung dalam program rehabilitasi, maka pasiennya akan dialihkan kepada Institute of Mental Health (IMH).


Untuk Terapi Substitusi Heroin
Subutex sebelumnya adalah non-controlled drug yang mulai digunakan di Singapura untuk membantu mengobati kecanduan mantan pecandu heroin sejak tahun 2002. Menurut IMH, di Singapura kini terdapat 3.800 pecandu subutex. Sebagai obat untuk mengatasi gejala kecanduan yang diderita mantan pecandu heroin, subutex seharusnya dikonsumsi sekali sehari dengan cara melarutkannya di bawah lidah. Namun subutex telah disalahgunakan dengan mencampurkannya dengan obat penenang Domicum dan menyuntikkannya untuk mencapai "high".

Sebagai obat untuk mengatasi gejala kecanduan heroin, 40 negara mengijinkan penggunaan subutex, namun hal ini telah menciptakan masalah kecanduan subutex di beberapa negara. Menurut International Narcotics Board PBB, 1,7 milyar dosis subutex dikonsumsi tiap harinya pada tahun 2004. Ditemukan bahwa di beberapa negara, penyalahgunaan subutex telah menjadikan subutex sebagai obat yang paling dikonsumsikan oleh pecandu berbahan dasar opium seperti heroin. Sebagai obat legal, dengan harga yang relarif lebih murah dari heroin dan mudah diperoleh, subutex telah menjadi obat pengganti favorit bagi pecandu heroin. Di India yang memproduksi buprenorphine (campuran aktif dalam subutex) 90% pengguna subutex memakainya dengan cara penyuntikan.

Menurut Menteri Kesehatan Singapura Khaw Boon Wan, munculnya budaya jarum suntik mengkhawatirkan karena penggunaan subutex yang dicampurkan dengan obat lain dengan cara menyuntikkannya dapat mengakibatkan kerusakan nadi, kegagalan pernapasan, dan gangrene (pembusukan karena infeksi pada pembuluh darah) yang dapat menyebabkan amputasi. Dormicum yang tidak larut dalam air atau darah dapat menyumbat aliran darah dan menyebabkan penggumpalan darah yang akhirnya berujung pada gangrene. Penggunaan jarum suntik secara bersama juga dapat menyebabkan penyebaran HIV, serta Hepatitis B dan C.
Sebelumnya, sekitar 5% pecandu heroin menggunakan jarum suntik, namun kini jarum suntik digunakan oleh 90-95% pecandu subutex. Menurut Central Narcotics Bureau (CNB) atau BNN-nya Singapura, setengah dari 1.244 pecandu subutex yang diwawancarai CNB pada periode Mei 2005 - Juli 2006 mengaku menggunakan jarum suntik. Jarum suntik harganya murah antara 60 sen - 1 Dollar Singapura, dan mudah didapat di toko obat Cina atau apotik yang umumnya memiliki persediaan terutama untuk penderita diabetes. Menurut laporan Health Science Authority, pada September 2003 - Agustus 2005 terdapat 22 kematian yang disebabkan oleh kombinasi subutex dan obat lainnya.
Jual Subutex Untung S$ 1 Juta
Pada November 2005, Kementerian Kesehatan mewajibkan pendaftaran online bagi klinik-klinik yang memberikan subutex untuk memberikan nama pasiennya dan jumlah pil subutex yang diberikan kepada mereka. Kebijakan ini dirancang untuk menghentikan penyalahgunaan subutex baik oleh pasien pecandu heroin maupun oleh dokter untuk mencari keuntungan. Sejak November 2005 tersebut, tercatat 31 klinik umum yang diijinkan oleh pemerintah untuk memberikan subutex kepada pasiennya dan klinik-klinik tersebut telah menjual lebih dari 580.000 pil subutex. Sementara 5 rumah sakit umum dan 2 klinik spesialis hanya menjual sekitar 20.000 pil subutex. Menurut CNB, klinik-klinik tersebut mendapat S$ 15 bagi tiap 8 mg pil subutex yang merupakan dosis umum. Hal ini berarti bahwa kurang dari 10 bulan, klinik-klinik tersebut telah meraih keuntungan sekitar S$ 8,7 juta, bahkan salah satu klinik berhasil menjual 69.000 pil subutex (10% dari pasar) yang diperkirakan meraih keuntungan S$ 1 juta.

Sebelum ketentuan lebih ketat, subutex dijual secara bebas. Harga pil subutex 8 mg yang dibeli dalam jumlah besar dari luar negeri adalah sekitar S$ 14 atau sekitar 70 ribu rupiah.
Umumnya dijual kembali dengan harga per pil S$ 20. Dokter umumnya menjual pil subutex dengan harga S$ 20-22, sementara di pasaran gelap dapat mencapai harga S$ 40-100 per pil.
Sejak subutex dinyatakan sebagai Controlled Drug, 8 mg pil subutex yang biasanya dijual dengan harga S$ 40 naik menjadi S$ 80, dan ini mengindikasikan bahwa permintaan terhadap subutex masih tinggi. Menurut IMH dan National University hospital, 40% pecandu memperoleh subutex dari pasar gelap sebagian dikarenakan dokter tidak cukup memahami perawatan terhadap pasien ketergantungan obat terlarang. Subutex yang beredar di Singapura umumnya diselundupkan dari Johor Baru, Batam, dan Hongkong. Sedangkan menurut laporan PBB, subutex juga diselundupkan dari India ke Nepal, Srilanka, dan Bangladesh.
Sementara ini, klinik-klinik tersebut tetap diijinkan untuk memberikan subutex kepada pemakai yang terdaftar, namun pemakai tersebut harus mengkonsumsinya di dalam klinik untuk mencegah subutex dikonsumsikan dengan cara disuntikkan atau dijual kepada orang lain. Menurut Menteri Kesehatan Khaw Boon Wang, Singapura telah melakukan kesalahan dengan mengijinkan penggunaan subutex dan membiarkan dokter memberikan subutex kepada pasiennya secara bebas. Lebih dari 5 dokter tengah diperiksa oleh Singapore Medical Council karena dinilai telah menyalahgunakan ijin pemberian subutex kepada pasiennya. Dua hari setelah subutex ditetapkan sebagai obat yang diawasi penggunaannya, CNB telah berhasil meringkus 11 orang diduga sebagai pengedar subutex dan 1 orang pengguna subutex. Delapan pengedar di antaranya telah diajukan ke pengadilan dan bila terbukti, dapat dikenakan sekurangnya 5 tahun hukuman penjara dan 5 pukulan rotan.
Pandangan Para Ahli
Para ahli memiliki pandangan yang berbeda-beda perihal subutex, beberapa di antaranya mengatakan bahwa subutex kurang berbahaya dibandingkan opiates, kuat seperti heroin karena tidak mematikan rasa sakit dan efek terhadap pernapasan lebih rendah. Penggunaan subutex secara tepat, yaitu dilarutkan di bawah lidah dapat membantu pengguna berfungsi relatif normal. Namun bila pengguna memilih cara menyedot atau menyuntikkannya, maka subutex dapat mengakibatkan gangrene yang dapat mengarah ke amputasi dan bahkan kematian.
Di Amerika Subutex diijinkan digunakan pada tahun 2002. Untuk mencegah penyalahgunaan subutex, US Food and Drug Administration (USFDA) membatasi jumlah pasien pecandu narkoba yang dapat dirawat dengan subutex, yaitu 30 pecandu untuk tiap dokter dan klinik. USFDA juga meminta pihak manufaktur membuat obat lain, yaitu suboxone yang mencampurkan buprenorphine dengan naloxone untuk mencegah penyalahgunaan karena dapat menyebabkan withdrawal symptoms atau sindrom penolakan seperti muntah-muntah dan diare saat disuntikkan. Di Amerika, subutex hanya digunakan untuk periode terbatas dan kemudian digantikan dengan suboxone untuk keperluan jangka panjang. Namun sayangnya suboxone tidak tersedia di Singapura.
Menurut laporan Departemen Kehakiman Amerika, penyalahgunaan subutex tidak menjadi masalah serius di AS, namun di beberapa negara terdapat jumlah penyalahgunaan subutex yang cukup signifikan seperti di Prancis, Irlandia, Skotlandia, India, dan Selandia Baru. Di Georgia, Eropa Timur, subutex adalah obat ilegal dan dalam suatu artikel jurnal medis "the Lancet" dikatakan bahwa subutex merupakan penyebab utama kenaikan 80% jumlah pemakai narkoba di Georgia sejak tahun 2003. Di Georgia yang berpenduduk 5 juta, kini terdapat lebih dari 250.000 pecandu narkoba
Di Indonesia tidak tertutup kemungkinan kecenderungan serupa terjadi pula atau mungkin malah telah terjadi. Indikasi Batam sebagai salah satu tempat asal subutex yang beredar di Singapura kiranya perlu mendapat perhatian serius, demikian pula jalur lalu lintas perdagangan gelap subutex di kawasan Asia mengingat negara asal, transit, dan tujuan berperan penting dalam memutuskan tali supply dan demand yang berdampak langsung terhadap keberhasilan penanganan perdagangan narkoba.