Monday, April 13, 2009

Peredaran Obat Palsu masih Merajalela

Peredaran obat palsu hingga kini masih merajalela. Fakta tersebut sesuai dengan temuan Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) pekan lalu. Karena itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) diminta segera menertibkannya.

Ketua YPKKI Marius Widjajarta dalam siaran pers kepada Media, kemarin, menuturkan, produk yang dipalsukan antara lain berupa obat antihipertensi Norvask 5 mg ex Pfizer Indonesia.

"Obat tersebut dipalsukan dalam tiga tahap," ucapnya. Pertama, untuk peserta Asuransi Kesehatan Indonesia (Askes), padahal sudah lama tidak terdaftar dalam Daftar Plafon Harga Obat Askes. Kedua, Norvask ex Pfizer India yang tanpa memiliki izin edar di Indonesia. Ketiga, Norvask 5 mg reguler dalam kemasan blister.

Dalam surveinya, YPKKI menemukan pula obat palsu antidiabetik Metformin tanpa mencantumkan nama produsennya di bagian stripnya, seperti diatur lewat Keputusan Kepala Badan POM No HK.00.05.3.1950 tentang Informasi Minimal yang Harus Dicantumkan pada Rancangan Kemasan poin 5.

Marius menganggap pemalsuan obat-obatan telah berlangsung lama. Selain itu, produk impor yang masuk secara ilegal kini diperkirakan mencapai 400 item dengan berbagai bentuk maupun sediaan.

Dia mengelompokkan produk impor yang tidak resmi itu sebagai obat palsu sebab tanpa memiliki izin edar yang dikeluarkan Badan POM sesuai dengan Peraturan Menkes No 949/Menkes/SK/VI/2000.

Tingginya pemalsuan obat, lanjut Ketua YPKKI, tidak lepas dari perbedaan harga. Dicontohkan, satu pabrik memproduksi kemasan untuk jenis generik dan bermerek, namun harganya beda sampai 10 kali lipat.

Kemungkinan lainnya, ia menegaskan obat dengan bahan baku sama, tetapi perusahaan farmasinya berbeda, terdapat perbedaan harga sampai 10 kali lipat lebih. "Atau, obat lokal dengan yang impor, namun komposisinya sama, harganya berbeda 20 kali lipat."

Grafis

Canggihnya pemalsuan obat, ulasnya, tidak terlepas pula dari kemajuan industri grafis. Marius melihat perkembangan teknologi grafis tersebut berupa fotokopi warna, hologram, dan hires scanner, yang membuat produk palsu sulit dibedakan dengan aslinya.

Menurut Ketua YPKKI, pasien maupun dokter tidak mampu membedakan antara produk yang asli dan palsu. Multilevel sekuriti yang berlaku di pabrik untuk menjaga keaslian pun, dia mengingatkan, tidak bisa menjamin produk itu tidak dipalsukan.

Suburnya industri pemalsuan obat, kata dia, juga diakibatkan oleh maraknya toko obat yang menjual obat keras (daftar G) dan dokter yang melakukan self dispensing (langsung memberikan obat kepada pasien sesudah mendiagnosis).

Padahal, tandasnya, dokter maupun toko obat dilarang membeli langsung obat keras kepada pedagang besar farmasi (PBF) dan distributor. Karena hal ini terjadi, maka kebutuhan obat daftar G dipasok dari toko obat dan pedagang tertentu. Marius memastikan, obat palsu tersebut lambat laun akan masuk rumah sakit dan apotek.

Di sisi lain, Ketua YPKKI mengemukakan keberadaan obat keras di toko obat dan dokter dipengaruhi oleh 'permainan kotor' yang dilakukan pabrik obat maupun PBF dalam menjual produk.

Kacau-balau

Sementara itu, Marius menduga, Badan POM tidak mampu melakukan audit verifikasi laporan pertanggungjawaban produksi serta distribusi sesuai dengan ketentuan secara baik dan benar.

Bahkan, dia menambahkan, banyak industri farmasi yang telah mendapatkan sertifikat International Standard Organization (ISO) dengan proses dokumentasi produksi dan distribusi yang tercatat rapi.

Padahal, ia menjelaskan, pabrik obat maupun distributor dengan sengaja membiarkan produknya beredar di pasar gelap untuk mengisi kebutuhan masyarakat di pasar sekunder.

"Mereka tidak bertanggung jawab penuh terhadap produk yang beredar," ungkap Marius seraya menilai, pengusaha obat, dan PBF cuma mengutamakan unsur laba-rugi. Jadi, Ketua YPKKI berpendapat, persaingan bisnis yang tinggi di antara sesama industri farmasi membuat jalur distribusi obat semakin kacau-balau.

Maka, pihaknya mengimbau Badan POM secepatnya menertibkan pabrik obat dan PBF yang memasok obat ke toko obat maupun dokter agar mereka tidak menjadi sarana peredaran produk palsu.